/

Rabu, 20 April 2011

RA Kartini, Siapa Dirimu?


21 April, 2011 
Setiap tanggal 21 April, kita memperingati hari lahirnya RA Kartini. Tetapi tahukah kita siapa Kartini yang sesungguhnya, bagaimana pemikiran-pemikirannya? Pernahkah kita membaca surat-surat Kartini, satu-satunya dokumentasi tertulis yang menjadi sumber sejarah tentang hidup, gagasan, dan perasaannya?
Rasanya aneh sekali mengagumi Kartini sebagai pahlawan, memperingati hari lahirnya setiap tahun dengan seremoni, tanpa benar-benar memahami kisah hidupnya dan apa yang diperjuangkannya dulu.
Saya pernah memiliki buku “Surat-Surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk bangsanya” karya Sulastin Sutrisno, terbitan tahun 1979, tapi buku itu sudah lama hilang entah dipinjam siapa :( . Karena ingin membaca lagi pemikiran Kartini, saya mencari ke beberapa toko buku dan menemukan dua judul, yaitu “R.A. Kartini, Biografi Singkat 1879 – 1904″ tulisan Imron Rosyadi, dan “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Imron Rosyadi sudah selesai saya baca, tapi buku Pramoedya belum sempat saya buka. Dan karena dikejar deadline, harus posting tanggal 21 April, apa boleh buat, saya menulis posting ini hanya berdasarkan buku Imron Rosyadi saja :( . Buku ini terbitan April 2010, dan cukup banyak mengutip dari berbagai sumber, jadi saya pikir cukup valid sebagai referensi *menghibur diri* :P
Dua buku tentang R.A. Kartini yang saya dapatkan
Rasanya sejarah hidup Kartini tak perlu saya tulis lagi ya, toh teman-teman semua sudah tahu. Mmm … tapi baiklah, siapa tahu ada yang sudah lupa. Maklum, belajar tentang Kartini kan waktu SD dulu (itupun menjelang ujian, dan habis ujian sudah menguap dari kepala … *contoh diri sendiri* :D ).
Ayah Kartini adalah Bupati Jepara, RM Adipati Ario Sosroningrat. Ibunya bernama Ngasirah, putri seorang guru agama yang memiliki latar belakang pesantren. Oleh karena Ngasirah bukan bangsawan, maka RMAA Sosroningrat harus mengikuti peraturan Pemerintah Kolonial untuk menikahi seorang wanita bangsawan juga sebagai garwo padmi (istri utama). Maka ia kemudian menikahi RA Muryam yang masih keturunan raja-raja Madura. RA Muryam lah yang kemudian harus dipanggil ‘Ibu’ oleh Kartini, sedangkan Ngasirah, ibu kandungnya, harus dipanggilnya ‘Yu’, sebuah sebutan untuk pelayan. Ngasirah sendiri harus memanggil Kartini ‘Ndoro’. RA Muryam, Kartini, dan anak-anak Sosroningrat yang lain duduk di kursi, sedangkan Ngasirah harus duduk di lantai, melayani kebutuhan seluruh anggota keluarga Sosroningrat.  Ia juga tidak dilahirkan di gedung utama rumah bupati seperti saudara-saudaranya yang lain, tetapi di bangunan kecil asisten wedana, karena ibunya hanya seorang selir.
Raden Ajeng Kartini (foto dipinjam dari sini)
Pada tahun 1900-an, feodalisme masih sedemikian kuat. Kartini merasakan kepedihan hati ibunya, dan ia pun merasakan kepedihan yang sama. Maka, dua hal  yang pertama-tama dilawannya adalah feodalisme dan poligami. Feodalisme pada masa itu tidak adil dan menekan kehidupan perempuan. Anak perempuan dilarang sekolah. Jika sudah memasuki usia remaja, ia harus dipingit, dilarang ke luar rumah sampai ia dinikahkah dengan lelaki yang tidak dikenalnya. Dan setelah menikah perempuan harus siap dipoligami.
RMAA Sosroningrat adalah bangsawan yang terpelajar. Ia pandai menulis dan berbahasa Belanda. Oleh karena itu, Kartini dan adik-adik perempuannya, Roekmini dan Kardinah, diijinkan sekolah dan belajar bahasa Belanda. Kartini sempat mendapatkan pendidikan di Europese Lagere School (ELS), sekolah untuk orang-orang Belanda dan orang Jawa terkemuka. Kemampuan berbahasa Belanda inilah yang kemudian membuat Kartini bisa berkorespondensi dengan teman-temannya orang Belanda, seperti suami-istri J.H. Abendanon, Stella Zeehandelaar, Nyonya Cvink Soer, Nyonya Nellie van Kol, Nyonya van Zeggelen, Nyonya HG de Booij-Boissevain, dan lain-lain.
Tiga bersaudara : Kartini, Kardinah dan Roekmini (foto dipinjam dari sini)
Kartini ingin melanjutkan sekolah ke HBS di Semarang, tetapi dilarang oleh ayahnya. Ia bahkan dimasukkan ke dalam pingitan. Ketika dipingit selama 4 tahun inilah, Kartini banyak membaca buku-buku dan majalah berbahasa Belanda. Ia juga banyak menulis, yang dimuat di majalah De Hollandsche Lelie dan beberapa majalah lain. Ia mengatakan, untuk mengangkat derajad perempuan Indonesia, pendidikan bagi mereka mutlak perlu. 
Pada 1902, Kartini dan Roekmini mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Belanda atas dukungan H.H. van Kol, seorang anggota parlemen Belanda. Sudah pasti berita ini sangat menggembirakan dua bersaudara itu. Namun demikian, kebahagiaan sesaat itu harus berakhir tragis. Kartini batal pergi ke Belanda. Apa yang terjadi?
Para pejabat Belanda di Batavia gelisah, dan menganggap kemajuan Kartini akan membahayakan kolonialisme Belanda di Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha menggagalkan keberangkatan Kartini, namun semua upaya itu gagal. Akhirnya, pada 24 Januari 1903 J.H. Abendanon datang ke Jepara. Ia mengajak Kartini ke pantai Klein Scheveningen, dan membujuk Kartini untuk mengurungkan niatnya belajar ke Holland. Berbagai alasan dijadikan dalih. Antara lain, Kartini bisa dilupakan masyarakat Indonesia, Kartini hanya akan menjadi noni Belanda, lagipula ayahnya sedang sakit. 
R.M. Adipati Ario Sosroningrat (foto dipinjam dari sini)
Kartini luluh. Ia sangat mencintai ayahnya, dan tak ingin menjadi penyebab kematian ayahnya itu. Niatnya untuk pergi ke Belanda, serta pemberontakannya terhadap adat yang mengharuskan perempuan mencium tanah dan menyembah lutut laki-laki, membuat ia dan keluarganya mendapatkan teror bukan saja dari pejabat Belanda, tetapi juga dari para bangsawan Indonesia yang berkuasa. Ia kuat menghadapi teror terhadap dirinya, tetapi luluh ketika berpaling kepada keluarganya. Akhirnya Kartini memilih berkorban demi ketenteraman keluarga dan mengalahkan pamrih pribadi. “Kami ini hanya manusia biasa, wanita Jawa dalam tembok tradisi yang kukuh” demikian tulisnya pada Stella Zeehandelaar. 
Pada Juni 1903, Kartini berhasil mendirikan sekolah untuk perempuan di Jepara. Ia sadar, usahanya untuk sekolah lagi, baik di Semarang, Batavia, apalagi Belanda, tak akan pernah terlaksana. Pada saat itulah, datang surat lamaran dari Bupati Rembang, Djojo Adiningrat, salah seorang sahabat ayahnya. RMAA Sosroningrat yang sedang sakit keras menyarankan agar Kartini menerima lamaran itu. Kartini tak berdaya menolak permintaan ayah yang sangat dicintainya, meskipun hatinya hancur lebur. 
“Saya (kini) adalah tunangan Bupati Rembang, seorang duda dengan tujuh anak dan dua istri (selir). Mahkota saya sudah lenyap dari dahi saya. Sekarang saya tidak lebih sedikit pun dari yang lain. Saya seperti ribuan (perempuan) lainnya yang hendak saya tolong, tetapi ternyata jumlahnya hanya saya tambah saja. Aduhai Tuhanku … benarkah ini kehendak-Mu? Ampunilah saya, belas kasihanilah saya. Berilah saya kekuatan untuk menanggung penderitaan saya” demikian tulis Kartini dengan penuh kepedihan kepada Rosa Abendanon. 
Kartini menerima lamaran Djojo Adiningrat dengan beberapa syarat, antara lain ia boleh membuka sekolah di Rembang, dan ia tidak akan mencium kaki suaminya. Pertimbangan lain Kartini, Djojo Adiningrat adalah seorang bupati yang terpelajar dan memiliki kekuasaan, yang akan mendukung ia melanjutkan cita-citanya memajukan pendidikan bagi perempuan.
Pernikahan Kartini dengan RM Djojo Adiningrat (foto dipinjam dari sini)
Pernikahan Kartini berlangsung pada 8 November 1903. Kartini cukup memakai untaian bunga melati, tanpa baju pengantin, tanpa mencium kaki suaminya. Kepada Rosa Abendanon, ia meminta kado pernikahan berupa buku-buku, antara lain karya Tolstoy, Ritter, Vosmaer, Jonathan, Limburg Brouwer, Kipling, dan masih banyak lagi. Dari daftar buku ini –ada novel, filsafat, sajak, drama– terlihat bagaimana tingkat intelektualitas Kartini.
Kisah hidup Kartini berakhir pada 17 September 1904, empat hari setelah ia melahirkan putranya yang dinamai Soesalit. Proses persalinannya tak mulus. Mengenai kematian Kartini, ada beberapa kisah yang agak misterius. Empat hari setelah melahirkan, dokter van Ravensteyn yang memeriksa Kartini datang, dan mengatakan kondisi Kartini tidak mengkhawatirkan. Ia memberikan obat dan meninggalkan Kartini. Tapi tidak berapa lama kemudian, Kartini mengeluhkan sakit yang teramat sangat di perutnya, dan meninggal tidak berapa lama kemudian. Kematian yang mendadak ini cukup menimbulkan desas-desus. Pembunuhan? Racun? Guna-guna? Meskipun demikian, desas-desus itu tidak dapat dibuktikan, dan keluarga Kartini juga tidak berusaha untuk mengusutnya melainkan menerima kematian Kartini sebagai kehendak Yang Mahakuasa. 
Buku yang mengulas tentang misteri kematian Kartini (foto dipinjam dari sini)
Makam R.A. Kartini (foto dipinjam dari sini)
Pengangkatan RA Kartini sebagai Pahlawan Nasional Indonesia dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dengan SK Presiden No. 108 tahun 1964.  Cukup banyak kontroversi mengenai surat-surat dan kepahlawanan Kartini, mungkin harus saya tulis posting tersendiri untuk itu …
Sambil menunggu kesempatan untuk berdiskusi tentang Kartini dan tokoh-tokoh wanita Indonesia lainnya, seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, Nyai Ageng Serang, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Walandouw Maramis, Christina Marta Tiahahu, dan lain-lainnya, marilah kita tunduk hormat dan memanjatkan doa bagi para pahlawan wanita yang telah berjasa membuat wanita-wanita Indonesia maju seperti saat ini …
Sumber : “R.A. Kartini, Biografi Singkat 1879 – 1904″ karya Imron Rosyadi.

2 komentar:

  1. Keren bgt kk... caranya bgmana k buatnya... ajarin dunk k...
    Medi

    BalasHapus
  2. Selamat pagi, saya Ayu, membaca artikel ini membuat saya sangat terharu, karena sadar bahwa bahkan sejak zaman penjajahan hal-hal terkecil seperti kemajuan kaum perempuan sudah ditumpas oleh penjajah,

    semoga perempuan2 Indonesia yang lebih beruntung lahir dizaman sekarang tidak salah bertindak dan mengambil langkah, sehingga menjatuhkan martabat dirinya sendiri,

    BalasHapus